Senin, 29 September 2014


PERSAWAHAN DI BALI DISERANG SOFTEX DAN PAMPERS BEKAS
            Sejak zaman nenek moyang, sawah merupakan lahan penghasil kebutuhan pokok masyarakat di Bali, utamanya padi. Selain sebagai tempat bekerja mengolah tanah pertanian, sawah juga tempat yang sangat disucikan dimana Dewi Kesuburan, Dewi Laksmi melimpahkan anugerahnya. Namun apa jadinya kalau dalam areal persawahan petani justru dicemari berbagai macam sampah. Mulai dari sampah plastik, bekas softex, dan bekas popok bayi atau pampers yang mengambang disana sini.
softex bekas di aliran pengairan sawah


            Hal ini terjadi karena kebiasaan buruk masyarakat yang membuang sampah sembarangan dalam aliran air sungai. Bersama air yang mengalir sampah-sampah tersebut mengarungi sungai memasuki aliran air persawahan. Hal ini sangatlah mengganggu. Selain mencemari air dan tanah, sampah ini juga membuat pemandangan dan perasaan yang tidak menyenangkan.
popok bekas yang berputar-putar dalam aliran air menuju persawahan

            Perlu adanya sosialisasi dari pemerintah daerah agar tiap-tiap desa di Bali mengeluarkan aturan melarang membuang sampah di sungai. Hal ini diperlukan agar masyarakat sadar akan pencemaran akibat sampah tersebut, dan berhenti melakukannya. Mari kita sama-sama jaga Bali dari serangan Sampah Non-Organik!!!!


Rabu, 24 September 2014

Lagu Flobamora
Sebuah lagu tentang kerinduan seseorang yang sedang berada di rantauan yang merindukan kampung halamannya. Lagu ini menjadi lagu kenangan ketika saya menjalankan tugas di SMP  Negeri Satap Pumi, desa Pido. Berikut syair lagu flobamora yang ditulis siswa saya.

FLOBAMORA
Flobamora tanah airku nan tercinta
Tempat beta dibesarkan Ibunda
Meski sudah lama jauh di rantau orang
Beta ingat Mama janji pulange
Biarpun tanjung teluknya jauh terpele nusaku
Tapi slalu terkenang di kalbuku
Anak timor main sasando
Dan bernyanyi bolelebo..
Rasa girang dan berdendang pulange..
Pulange..pulange..sio pulange…
Hampir siang beta bangun sambil menangis
Air mata basa pipi sayange..
Biarpun tanjung teluknya jauh terpele nusaku
Tapi slalu terkenang di kalbuku
Anak timor main sasando
Dan bernyanyi bolelebo..
Rasa girang dan berdendang pulange..
Pulange..pulange..sio pulange…



Batu Lagawa si Mulut Besar

Batu Lagawa si Mulut Besar
            Desa Pido yang berada di pegunungan Alor Timur Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur ini menyimpan banyak keunikan baik dari segi alam dan budayanya. Bebatuan yang besar banyak terdapat di seluruh wilayah bahkan di rumah-rumah penduduk.
            Beberapa diantaranya bahkan dipercaya memiliki unsur magis dan memiliki roh penunggu yang mendiami batu tersebut. Objek wisata batu dan sugai menjadi ikon dari Desa Pido yang wilayahnya dialiri sungai dan terdapat beberapa telaga.
Batu Lagawa
Batu besar ini sangat dikenal oleh warga masyarakat di Kawasan Alor Timur Laut. Bahkan nenek moyang orang Pido membuatkan sebuah lagu tentang batu ini. Menurut orang Pido, Lagawa artinya Mulut Besar. Dan Batu besar ini memiliki cekungan yang menyerupai mulut, dan di beberapa bagian terdapat cekungan-cekungan yang menyerupai telapak tangan manusia.

  
Batu Lagawa dilihat dari Perkebunan Warga


Konon kata tetua masyarakat tersebut batu ini berasal dari Timor leste yang dengan kekuatannya berjalan menyusuri pulau alor menuju pantai, namun ketika sampai di Pido, tepatnya di dekat telaga kliwa. Masyarakat takut jika batu besar ini melintasi tempat tinggal mereka maka akan merusak rumah atau bahkan menimbulkan korban jiwa, maka nenek moyang orang pido menahan batu tersebut agar tetap di sana. Mereka menahan kekuatan batu tersebut dengan tangan mereka, sehingga bekas-bekas telapak tangan mereka yang menahan batu tersebut masih terlihat membekas di Batu.
           

Berfoto bersama anak-anak Pido di Mulut Lagawa, terlihat di dinding mulut Lagawa cekungan-cekungan yang menyerupai jari dan telapak tangan manusia


Batu besar Lagawa ini terletak di perkebunan warga yang dekat dengan aliran Telaga Kliwa. Dalam keseharian masyarakat yang berladang, masyarakat yang bercocok tanam atau menjaga kebun mereka dari serangan babi hutan sering memanfaatkan mulut lagawa sebagai tempat berteduh ketika musim hujan. Terlihat bekas-bekas kayu api dan bale-bale bekas yang masih tertinggal disana.
            
 Sebuah cerita dari masyarakat bahwa dulu ada salah seorang yang mengambil foto batu lagawa tesebut dan dalam foto yang diambil terdapat penampakan seorang yang berpakain loreng seperti seragam tentara. Namun apabila kita berkunjung dan berfoto disana, sebaiknya dengan warga masyarakat lokal sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Anak Lagawa
Dalam perjalanannya Batu Lagawa ini berjalan bersama anaknya, namun anak Lagawa tertinggal di atas, di badan bukit tepatnya di bawah kampung Aumang. Anaknya yang tertinggal sendiri ini merasa kedinginan sehingga ia menggigil. Batu yang berukuran seperempat batu Lagawa ini sering disebut Batu menggigil karena dahulu batu ini terasa bergetar apabila ada orang naik ke atasnya.

Batu Merah
          Sebuah Batu besar seperti bukit berwarna merah. Sungguh menakjubkan, batu yang berwarna merah dengan bayangan seorang menaiki kuda di dalamnya. Jauh di atas perkampungan Pido, menyusuri ladang berbukit akan kita jumpai objek batu merah. Namun demi keamanan, kita tidak diizinkan mengambil foto batu tersebut. Karena sempat kejadian orang asing yang setelah mengambil foto batu merah, orang tersebut meninggal. Ketika berada di batu tersebut sudah terasa kesan angker batu merah.

Pemandangan di sekitar tempat melihat batu merah


Namun keistimewaan batu merah kurang nampak dari bawah batu. Setelah turun beberapa kilo, dari jalan setapak menuju kampung feimang barulah kita bisa lihat sebuah pemandangan alam yang menakjubkan. Di dalam batu besar berwarna merah tersebut terdapat gambar berwarna hitam yang kalau kita perhatikan menyerupai seseorang yang menunggang kuda. Satu kaki depan kuda seperti ditekuk, dan satunya lurus. Dan penunggang kuda terlihat agak membungkuk. Untuk dapat melihat batu ini kita harus meminta izin dari tetua desa dan sekaligus ditemani. Meskipun batu ini tidak boleh kita foto, namun kita bisa mengambil gambar di sekitar perkebunan yang memiliki pemandangan perbukitan yang indah dan dari puncak tersebut akan terlihat pantai Taramana yang indah.


 
Perkebunan warga di sekitar tempat melihat Batu Merah

Desa Pido

Surga di Pido

Desa Pido merupakan salah satu dari 8 desa yang ada di wilayah kecamatan Alor Timur Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Desa ini terletak di wilayah pegunungan subur yang jauh dari polusi dan hiruk pikuk perkotaan.  Melintasi pemandangan alam perbukitan yang indah, hutan kayu ampupu serta padang ilalang yang luas perjalanan menuju desa ini akan terasa sangat menakjubkan. Kehidupan berbagai burung juga dapat kita jumpai di sini, diantaranya burung nuri hijau, burung elang, ayam hutan, dan kalau beruntung kita bisa melihat  hewan seperti babi hutan dan rusa yang hidup di hutan daerah Pido.


Desa Pido memiliki batas wilayah yakni bagian Utara berbatasan dengan desa Langkuru Utara kecamatan Pureman, Selatan berbatasan deengan desa Kenarimbala  kecamatan Alor Timur Laut, Barat berbatasan dengan desa Lippang kecamatan Alor Timur Laut dan timur berbatasan dengan desa Padang Panjang kecamatan Alor Timur.
             Masyarakat  Pido pada umumnya adalah masyarakat agraris. Secara turun temurun jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi, jagung, deli, botok dan kemiri. Sistem penanamannya di sesuaikan dengan pergantian musim yang terjadi.

Perkebunan kemiri sangatlah berarti dalam kehidupan masyarakat Pido, biji kemiri yang sudah kering dan dipecah kulitnya dijual kepada saudagar setiap hari pasar, yaitu hari Rabu. Padi, jagung, deli dan botok adalah tanaman yang mereka tanam pada musim hujan dan hasilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan akan makanan saat musim kemarau tiba.
Di samping berkebun, dan berladang masyarakat Pido juga beternak babi dan ayam dan itu bukan untuk di jual melainkan untuk memenuhi kegiatan adat, seperti upacara pernikahan atau kematian. Masyarakat Pido memiliki kepercayaan yang tinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dimana kesadaran beribadah sangat kental dalam kehidupan sehari-hari mereka, serta mereka sangat toleransi dan menghormati tamu yang datang berkunjung ke sana.
Salah satu kendala yang dihadapi masyarakat desa ini yaitu belum  adanya akses listrik dan jalan aspal yang mencapai desa ini. Ini menyebabkan hasil dari berkebun sulit untuk dijual keluar desa. Jalan tanah berdebu di musim kemarau, serta berlumpur ketika musim hujan menunjukkan betapa pemerataan pembangunan di Indonesia ini belum maksimal. Informasi dan komunikasi juga sulit akibat belum adanya listrik yang mencapai desa ini.